Sabtu, 01 Oktober 2016

Another Soul part 1

Angin berhembus kencang menyambar pepohonan—menyisakan pepohonan yang tumbang di kanan-kiri jalan, memporak porandakan rumah penduduk sekitar. Bangunan yang semula terlihat begitu megah nan kokoh berubah menjadi bangunan tak berharga yang sejajar dengan tanah. Desiran angin kencang tak mau berhenti seakan belum puas meluluhlantahkan kota—seketika kehidupan di kota tersebut mati secara misterius seperti sebuah pesawat yang menghilang dalam lingkaran segitiga bermuda.

Mayat-mayat secara mengenaskan serta mengerikan tersebar di semua sudut kota. Darah tercium dari segala arah penjuru kota—darah yang disebababkan oleh kehausan akan kematian seseorang, tak tanggung-tanggung seribu orangpun serasa belum cukup membalaskan dendam yang sejak lama bersemayan di hati.

Beralaskan dendam dia bertindak diluar kendali, melampiaskan kekesalan yang sudah bertahun-tahun terkubur dalam jiwanya, namun tindakan dia sama sekali tak bisa dibenarkan dari sudut pandang manapun. Semua orang dibantai habis-habisan tak peduli seorang bayi sekalipun, tak ada ampun bagi siapapun yang masih bernafas. Setiap detik hidup dibayang-bayangi oleh bayangan kematian. Sekalipun mereka tetap hidup mereka akan disiksa hingga nafas terakhir.

Tak ada tempat aman di kota ini yang bisa menjamin keselamatan, meskipun berada di dalam rumah. Saat malam tiba dia akan membantai setiap orang, tak ada kesempatan untuk melarikan diri. Penderitaan terlihat sangat kentara pada wajah-wajah setiap orang bernyawa di sini. Penyiksaan yang amat pedih yang mereka rasakan sebelum ajal menjemput membuat mereka terlihat seperti seorang mayat hidup—wajah pucat pasi, kantong mata cukup besar, wajah maupun anggota tubuh lainnya dipenuhi dengan luka.

Suatu alur kehidupan yang penuh dengan kegelapan dan ketidakbenaran. Kekuasaan digunakan semena-mena tanpa memperhitungkan akibatnya. Ego yang terlalu besar mengalahkan rasa belas kasih. Nyawa bagaikan mainan murah yang bisa dibuang kapan saja.

Sinar sang surya seketika ditelan kegelapan. Lilin, obor padam seketika laksana terkena air. Hanya menyisahkan kegelapan, kehancuran yang sangat mengerikan. Tak ada lagi kehidupan. Hanya tersisa bangunan dan pepohonan yang hancur lebur seperti kapal pecah.

Tak ada kebahagiaan di kota ini, dia telah melahap habis seluruh kebahagiaan. Hanya tersisa kenangan buruk. Orang itu tak mempunyai rasa simpatik sedikitpun. Dia tak mengijinkan seorangpun tetap bernafas setiap detik dengan bebas. Di balik kekacauan dan kesedihan yang menimpa kota ini, dia bersama teman-temannya justru tertawa bahagia.
***
Seorang gadis berdiri diantara kekacauan ini, dialah satu-satunya gadis yang masih bertahan hidup. Namun ketika gadis itu mendengar suara raungan hewan buas yang setiap detiknya volume raungan hewan buas itu semakin membesar sontak bulu roma gadis itu  berdiri. Tanpa ada yang mengetahui bagaimana kejadiannya hingga gadis itu terjebak diantara reruntuhan bangunan rumah warga dan dikelilingi setumpuk mayat—mayat yang masih digenangi darah segar. Gadis itu mengerjapkan matanya berulang kali, berharap apa yang dia lihat hanyalah sebuah mimpi—namun sayangnya apa yang ia lihat bukan mimpi.

Gadis itu memandang sekitar—berharap seseorang akan menyelamatkannya dari gerombolan warewolf yang merangkak menuju arahnya. Peluh membanjiri tubuh gadis itu, gemeletuk gigi gadis itu terdengar begitu keras, bahkan detak jantung gadis itu terasa seperti saat melakukan lari marathon. Tak ada yang bisa gadis itu lakukan kecuali melarikan diri, namun kakinya terlalu lemas—seolah kakinya terikat disana. Pasrah akan kematian, mungkin itu yang harus dilakukan gadis itu. Gerombolan warewolf itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari gadis itu—seolah makhluk itu bersiap menerkam tubuh ringkih gadis yang berada di depannya.

Tanpa bisa dipungkiri meskipun gadis itu memaksakan kakinya untuk berlari—tubuh gadis itu masih saja berada di tempat yang sama, tak berpindah meskipun hanya satu inchi. Sebaliknya warewolf itu justru gencar mendekati gadis itu. Cairan bening yang keluar tak bisa dibendung dari kedua mata gadis itu. Warewolf itu tak peduli meskipun gadis itu menangis sejadi-jadinya, dia tak akan melepaskan gadis itu. Di saat salah satu warewolf  itu mulai mengendus tubuh gadis itu, dari kegelapan terdengar suara raungan serigala yang membuat semua warewolf yang mendekati gadis itu mundur secara perlahan. Samar-samar karena keterkejutan berpadu dengan rasa takut yang menguasai dirinya, pandangan gadis itu mulai terlihat buram kemudian pandangan gadis itu menghitam—namun sebelum mata gadis itu terpejam ia sempat melihat warewolf yang menyelamatkannya berjalan sempoyongan ke arah gadis itu.

"Aaaaaaaaa......." teriak  Anna histeris. Tubuh Anna sudah dipenuhi peluh—layaknya seorang atlet lari marathon.

"Anna, bangunlah sayang" ujar Nancy—Ibu Anna dengan nada khawatir. Nancy berusaha mengoyangkan tubuh Anna berulang kali berharap Anna segera bangun.

Sedetik kemudian Anna mengerjapkan matanya berulang kali—menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Tanpa perlu diperintah, Nancy mengambil segelas air mineral yang terletak di nakas sebelah tempat tidur Anna.

"kau mimpi buruk lagi ?" tanya Nancy kepada Anna—karena hampir setiap hari Anna bermimpi buruk.

Anna hanya mengangguk pelan. Pikirannya masih menerawang menjelajah mimpi yang sama dengan mimpi buruk yang hampir ia alami setiap hari.

            Anna berusaha menafsirkan mimpinya dari beberapa sudut pandang. Dia berfikir memggunakan logikanya—disambungkan dengan mitos yang melegenda di masyarakat namun tak juga menemukan jawabannya. Mimpinya benar-benar terasa nyata. Untuk sesaat Anna hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua mimpinya hanyalah sebuah mimpi buruk yang biasa dialami oleh orang lain juga.

Segala sugesti dari Nancy nampaknya tak terlalu berpengaruh terhadap Anna, karena pikiran tentang mimpi itu terus menghantui Anna. Sempat terbesit niat untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu tetapi tiba-tiba ingatan tentang mimpi buruk yang baru saja ia alami kembali memenuhi otaknya maka gadis itu memilih untuk menyingkirkan jauh-jauh keinginannya itu.

"Mengapa aku selalu bermimpi sama...arrrrghhhhh" gerutu Anna kesal.

Beberapa saat Anna terlihat sedang melamun. Terlalu banyak hal yang Anna pikirkan. Suatu ide cemerlang yang mungkin bisa membuat beban gadis itu berkurang terlintas begitu saja dalam benaknya. Anna segera membersihkan dirinya—bersiap menemui Emma karena hanya Emma satu-satunya orang yang bisa membuat Anna tenang.

To : Emma
Emma, aku akan ke rumahmu sekarang.