Angin berhembus kencang menyambar
pepohonan—menyisakan pepohonan yang tumbang di kanan-kiri jalan, memporak
porandakan rumah penduduk sekitar. Bangunan yang semula terlihat begitu megah
nan kokoh berubah menjadi bangunan tak berharga yang sejajar dengan tanah.
Desiran angin kencang tak mau berhenti seakan belum puas meluluhlantahkan kota—seketika
kehidupan di kota tersebut mati secara misterius seperti sebuah pesawat yang
menghilang dalam lingkaran segitiga bermuda.
Mayat-mayat secara mengenaskan serta
mengerikan tersebar di semua sudut kota. Darah tercium dari segala arah penjuru
kota—darah yang disebababkan oleh kehausan akan kematian seseorang, tak
tanggung-tanggung seribu orangpun serasa belum cukup membalaskan dendam yang sejak
lama bersemayan di hati.
Beralaskan dendam dia bertindak
diluar kendali, melampiaskan kekesalan yang sudah bertahun-tahun terkubur dalam
jiwanya, namun tindakan dia sama sekali tak bisa dibenarkan dari sudut pandang
manapun. Semua orang dibantai habis-habisan tak peduli seorang bayi sekalipun,
tak ada ampun bagi siapapun yang masih bernafas. Setiap detik hidup
dibayang-bayangi oleh bayangan kematian. Sekalipun mereka tetap hidup mereka
akan disiksa hingga nafas terakhir.
Tak ada tempat aman di kota ini yang
bisa menjamin keselamatan, meskipun berada di dalam rumah. Saat malam tiba dia
akan membantai setiap orang, tak ada kesempatan untuk melarikan diri.
Penderitaan terlihat sangat kentara pada wajah-wajah setiap orang bernyawa di
sini. Penyiksaan yang amat pedih yang mereka rasakan sebelum ajal menjemput
membuat mereka terlihat seperti seorang mayat hidup—wajah pucat pasi, kantong
mata cukup besar, wajah maupun anggota tubuh lainnya dipenuhi dengan luka.
Suatu alur kehidupan yang penuh
dengan kegelapan dan ketidakbenaran. Kekuasaan digunakan semena-mena tanpa
memperhitungkan akibatnya. Ego yang terlalu besar mengalahkan rasa belas kasih.
Nyawa bagaikan mainan murah yang bisa dibuang kapan saja.
Sinar sang surya seketika ditelan
kegelapan. Lilin, obor padam seketika laksana terkena air. Hanya menyisahkan
kegelapan, kehancuran yang sangat mengerikan. Tak ada lagi kehidupan. Hanya
tersisa bangunan dan pepohonan yang hancur lebur seperti kapal pecah.
Tak ada kebahagiaan di kota ini, dia
telah melahap habis seluruh kebahagiaan. Hanya tersisa kenangan buruk. Orang
itu tak mempunyai rasa simpatik sedikitpun. Dia tak mengijinkan seorangpun
tetap bernafas setiap detik dengan bebas. Di balik kekacauan dan kesedihan yang
menimpa kota ini, dia bersama teman-temannya justru tertawa bahagia.
***
Seorang gadis berdiri diantara
kekacauan ini, dialah satu-satunya gadis yang masih bertahan hidup. Namun
ketika gadis itu mendengar suara raungan hewan buas yang setiap detiknya volume
raungan hewan buas itu semakin membesar sontak bulu roma gadis itu berdiri. Tanpa ada yang mengetahui bagaimana
kejadiannya hingga gadis itu terjebak diantara reruntuhan bangunan rumah warga
dan dikelilingi setumpuk mayat—mayat yang masih digenangi darah segar. Gadis
itu mengerjapkan matanya berulang kali, berharap apa yang dia lihat hanyalah
sebuah mimpi—namun sayangnya apa yang ia lihat bukan mimpi.
Gadis itu memandang sekitar—berharap
seseorang akan menyelamatkannya dari gerombolan warewolf yang merangkak menuju arahnya. Peluh membanjiri tubuh
gadis itu, gemeletuk gigi gadis itu terdengar begitu keras, bahkan detak
jantung gadis itu terasa seperti saat melakukan lari marathon. Tak ada yang
bisa gadis itu lakukan kecuali melarikan diri, namun kakinya terlalu
lemas—seolah kakinya terikat disana. Pasrah akan kematian, mungkin itu yang
harus dilakukan gadis itu. Gerombolan warewolf
itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari gadis itu—seolah makhluk itu
bersiap menerkam tubuh ringkih gadis yang berada di depannya.
Tanpa bisa dipungkiri meskipun gadis
itu memaksakan kakinya untuk berlari—tubuh gadis itu masih saja berada di
tempat yang sama, tak berpindah meskipun hanya satu inchi. Sebaliknya warewolf itu justru gencar mendekati gadis
itu. Cairan bening yang keluar tak bisa dibendung dari kedua mata gadis itu. Warewolf itu tak peduli meskipun gadis
itu menangis sejadi-jadinya, dia tak akan melepaskan gadis itu. Di saat salah
satu warewolf itu mulai mengendus tubuh gadis itu, dari
kegelapan terdengar suara raungan serigala yang membuat semua warewolf yang mendekati gadis itu mundur
secara perlahan. Samar-samar karena keterkejutan berpadu dengan rasa takut yang
menguasai dirinya, pandangan gadis itu mulai terlihat buram kemudian pandangan
gadis itu menghitam—namun sebelum mata gadis itu terpejam ia sempat melihat warewolf yang menyelamatkannya berjalan
sempoyongan ke arah gadis itu.
"Aaaaaaaaa......."
teriak Anna histeris. Tubuh Anna sudah
dipenuhi peluh—layaknya seorang atlet lari marathon.
"Anna, bangunlah sayang"
ujar Nancy—Ibu Anna dengan nada khawatir. Nancy berusaha mengoyangkan tubuh
Anna berulang kali berharap Anna segera bangun.
Sedetik kemudian Anna mengerjapkan
matanya berulang kali—menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam pupilnya. Tanpa
perlu diperintah, Nancy mengambil segelas air mineral yang terletak di nakas
sebelah tempat tidur Anna.
"kau mimpi buruk lagi ?"
tanya Nancy kepada Anna—karena hampir setiap hari Anna bermimpi buruk.
Anna hanya mengangguk pelan.
Pikirannya masih menerawang menjelajah mimpi yang sama dengan mimpi buruk yang
hampir ia alami setiap hari.
Anna berusaha menafsirkan mimpinya
dari beberapa sudut pandang. Dia berfikir memggunakan logikanya—disambungkan
dengan mitos yang melegenda di masyarakat namun tak juga menemukan jawabannya.
Mimpinya benar-benar terasa nyata. Untuk sesaat Anna hanya bisa menarik nafas
dalam-dalam, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua mimpinya hanyalah sebuah
mimpi buruk yang biasa dialami oleh orang lain juga.
Segala sugesti dari Nancy nampaknya
tak terlalu berpengaruh terhadap Anna, karena pikiran tentang mimpi itu terus
menghantui Anna. Sempat terbesit niat untuk melanjutkan tidurnya yang sempat
terganggu tetapi tiba-tiba ingatan tentang mimpi buruk yang baru saja ia alami
kembali memenuhi otaknya maka gadis itu memilih untuk menyingkirkan jauh-jauh
keinginannya itu.
"Mengapa aku selalu bermimpi
sama...arrrrghhhhh" gerutu Anna kesal.
Beberapa saat Anna terlihat sedang
melamun. Terlalu banyak hal yang Anna pikirkan. Suatu ide cemerlang yang
mungkin bisa membuat beban gadis itu berkurang terlintas begitu saja dalam
benaknya. Anna segera membersihkan dirinya—bersiap menemui Emma karena hanya
Emma satu-satunya orang yang bisa membuat Anna tenang.
To : Emma
Emma, aku akan ke rumahmu sekarang.